Sebuah Tulisan


Sebuah Tulisan


Ruangan pengap dan kecil sudah menjadi rumah bagiku, tempat menyendiri dan termenung sambil memeluk lutut di pojokan. Udara luar sangat dingin, menggigit pori-pori kulit. Tanganku berusaha merai sebuah koran lusuh untuk sedikit menghangatkan tubuh dari gigitan udara dingin. Sangat sunyi, yang terdengar hanya gemercik gerimis di luar sana. Sederet jeruji besi berbaris rapi di ujung penglihatan, ini merupakan buah penyesalan yang kulakukan. Di usia belia aku harus menjalani hukuman yang cukup berat, yaitu penjara 9 tahun, 4 bulan.

Menurut sebagian orang, masa muda adalah masa yang paling indah bagaikan di surga, mereka menikmati kebahagiaan dengan teman-teman dan keluarga. Sedangkan aku? Terjerat di pelantaran neraka penuh dengan air mata dan penyesalan. Di saat teman seusiaku sedang semangat-semangatnya menuntut ilmu untuk kesuksesannya kelak, aku hanya terdiam di tempat busuk ini. Memang, buih adalah tempat orang-orang dewasa, tapi tidak menyurut kemungkinan pelajar seperti aku bisa terperangkap karena khasus yang sangat berat.

Orang tuaku selalu sibuk dengan dunianya, mereka banting tulang untuk menyukupi kebutuhan keluarga. Ayah seorang karyawan dealer motor dan ibu pekerja pabrik sepatu. Jarang aku bertegur sapa dengan mereka. Pagi sekali Ibu sudah berangkat ke pabrik sepatu sebelum aku beranjak dari tempat tidur. Seringkali mereka bertengkar di hadapanku, entah masalah apa aku tidak ingin mengetahuinya. Mungkin mereka capek dengan rutinitas harian sehingga kemarahan mudah sekali muncul, atau barangkali ada penyebab lain? Entahlah aku tidak pantas menanyakannya kepada mereka.

Ayah tidak seperti Ibu, waktu kerjanya agak longgar. Masuk jam 08:00 pagi. Walau begitu, Ayah selalu merasa risi jika kegiatannya terusik dengan keberadaanku. Memang, mereka bekerja demi anaknya, tapi....

Setiap pulang sekolah, aku lebih memilih pergi bersama teman-teman daripada berdiam diri di rumah menonton televisi. Jenuh. Aku butuh hiburan untuk me-refresh otak karena penat tugas sekolah. Lagian di rumah juga tidak ada yang peduli, bosan dengan suasana begitu-begitu saja. Bapak dan Ibu tidak pernah memberikan perhatian terhadapku. Kalau soal materi tentu aku tidak usah memintanya mereka langsung memberikan, tapi aku lebih mengharap kasih sayangnya terlebih dahulu. Bukan materi semata.

Suatu hari, seorang teman menawari minuman keras, tentu saja aku menolaknya, dengan alasan bau dan rasanya yang tidak enak. Mereka memahami. Setiap hari aku selalu berkumpul dengan mereka, nongkrong,hanya bersama mereka aku bisa tertawa, merasakan kepedulian dan kesenangan. Tidak seperti di rumah yang jenuh, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Di sini mereka rela melakukan apa saja demi teman-temannya bahagia.

"Edan euy, cewek yang waktu itu pake baju merah di depan Alfamart membeli capcin, sekarang ngchat gue. Katanya dia taksir sama gue!" teriak Rudi kegirangan.

"PJ... PJ... awas lu kalau kaga PJ!"

"Tenang, Bro, kalau gue jadian sama tuh cewek, gue teraktir kalian 2 botol jamu," jawab Rudi cengengesan.

Pada malam minggu, semua kawan membawa pasangannya masing-masing, begitupun Rudi, membawa cewek yang diceritakan waktu itu, aku merasa iri. Ternyata Rudi mengetahui perasaanku seperti layaknya psikolog kelas kakap saja, mengetahui setiap ekspresiku. Aku dikenalkan oleh teman pacarnya Rudi, dengan gadis bernama Riska. Dia cantik, matanya bercahaya, pipinya mengembang seperti bakpau. Pertama kali melihat gadis itu yang terbayang di benakku adalah mencubit pipinya dengan gemas, sampai memerah kemudian dia manja di pelukanku.

Beberapa hari kemudian aku dan Riska jadian, itu semua gara-gara Rudi dan pacarnya, mereka makcomblang yang cerdas. Semua anak-anak di tempat tongkrongan minta ditraktir, ini sudah menjadi tradisi jika ada pasangan 'angetan' yang baru jadian.

Aku beruntung mengenal Riska, ia sangat menyayangiku dan peduli. Kepeduliannya melebihi orang tuaku di rumah.

"Fagy... ." Pesan singkat seperti ini yang sering kuterima dari Riska setiap pagi. Di saat orang tuaku sibuk untuk berbenah persiapan kerja justru yang pertama kali memberikan perhatian pertama kali ialah Riska, pacarku. Aku sangat mencintainya.

Suatu saat aku mengajak Riska, nongkrong bersama anak-anak. Mereka menawariku minuman keras, kali ini dengan paksaan.

"Yang namanya solidaritas itu satu minum, semua harus kebagian!" Ancam salah satu teman yang sudah dikuasai alkohol. Aku terpaksa meminumnya dengan jijik. Mereka terus memaksa agar minum lebih banyak lagi, hingga aku tak sadarkan diri. Sialnya, Riska juga dipaksa untuk mencicipi barang haram itu, aku tidak bisa memberontak melihat Riska dicekoki bir, badanku lemas. Tubuhnya dipegang erat oleh 6 lelaki, walaupun Riska meronta-ronta tenaganya tidak sanggup menandingi ke 6 lelaki tersebut. Mereka terus menjejali Riska sambil tertawa lepas. Air mata menerobos bulu lentiknya, sesegukan. Waktu itu perempuan satu-satunya hanya Riska, aku khawatir Riska dilakukan secara senonoh oleh mereka. Ternyata kecemasan itu terjadi.

Hampir semua kesadaranku masih dikendalikan alkohol, untuk menatap ke depan pun seperti sedang menaiki wahana kora-kora di pasar malam, pusing. Yang terpikir hanya kesenangan semata. Kulihat Riska tergeletak lemas di lantai. Aku menghampiri, berusaha menyadarkannya dengan sekuat tenaga yang tersisa. Kutampar-tampar wajahnya, pipinya kucubit dengan keras hingga memerah. Riska hanya menggeliat manja dan sesekali menepis tanganku. Kaos hitam yang ia kenakan terangkat, sehingga bagian perutnya terlihat. Putih bersih. "Edannn!!!" teriakku. Tubuh Riska yang terkapar lemas memancing hasratku yang sudah dikendalikan alkohol ini. Kulihat sekeliling, sepi, tanpa ada seorangpun. Kemana teman-teman? Ahh... entahlah. Setan terus membisiki, akhirnya hal terlarang kulakukan bersama Riska, ia hanya pasrah, tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Kenikmatan yang kurasakan telah memuncak birahi. Nafsu telah merajai pikiran dan hati. Semenjak kejadian itu kami selalu melakukan hal tersebut setiap ada kesempatan, bermain cerdas, menggunakan pengaman dan sedikit meminum minuman keras.

***

Saat pulang sekolah, aku dan teman-teman dihadang anak SMP lain di jalan. Waktu itu jalanan cukup ramai, nekad sekali mereka, tidak mempedulikan keadaan sekitar. Masing-masing tangannya menggenggam balok kayu dan senjata tajam. Kami panik. Apa maksudnya? Berani-berani sekali! Tiba-tiba Rudi menyodorkan pil berwarna kuning.


"Minum ini biar pede, Dep," ujarnya.

"Halah... aku berani kok tanpa minum itu!"

"Dia 'kan yang pernah suka sama Riska ya, Dep?" tanyanya, "Hati-hati, Bro, sebaiknya kamu minum ini, dia kalau marah kaya banteng, semua di depannya dihancurkan termasuk loh!"

Aku menuruti Rudi untuk meminum pil itu. 7 butir kutelan. Obat itu ngefek, percaya diriku memuncak. Aku maju paling depan, merai beberapa bambu yang tertancap di pinggir jalan bekas bendera. Aku saling bertatapan.

"Ohh... ini pacarnya Riska?!!" tanpa basa-basi anak itu memukul kepalaku dengan keras. Tidak sakit, mungkin ini efek dari obat yang diberikan Rudi. Cerdas kamu, Rud.

Bambu yang kupegang dihantamkan ke kepalanya dengan sangat keras. Bughhk... aku membabi buta, memukul, menendan, hingga bambu itu hancur berkeping-keping. Tanpa ampun. Darah segar mengalir dari lubang hidung, mata, telinga, mulut anak sok jagoan itu. Semua anak-anak terdiam, tidak ada yang berani menghentikan aksi brutalku, sampai ia terkujur kaku tak sadarkan diri dengan luka memar di seluruh tubuh. Rudi menarik punggungguku dengan kuat. Kemudian kami lari meninggalkan tempat kejadian.

"Anj*ng!!!" teriakku sambil menyodorkan jari tengah kepada korban. Seketika tempat itu sepi, anak-anak melarikan diri, takut jadi tersangka ataupun saksi.

Setelah kejadian itu, satu hari kemudian polisi menghampiri rumahku. Saat itu Bapak dan Ibu masih bekerja, hanya seorang diri di rumah, aku sedang asik menonton acara anak di sebuah televisi.

"Saudara Depa Aditya?" tanya petugas, "Anda kami tangkap sebagai tersangka kasus pembunuhan!"
Panik, berusaha mengelak bahwa yang melakukan aksi brutal itu bukan aku. Polisi terus memaksa, kedua tanganku diborgol. Dengan rasa penyesalan aku berjalan menuju mobil polisi. Malu. Semua orang mengerumuniku dengan wajah kesal dan marah.

"Amit-amit punya anak seperti Depa, masih SMP sudah...." Kesal warga
.
Sekarang di tempat ini aku sendirian. Riska, Ayah, Ibu, dan teman-teman tidak peduli lagi denganku saat ini. Aku menikmati hari-hari di buih tanpa pernah melihat lagi sinar mentari. Mungkin ini yang membuatku tenang, hanya tempat ini.

Air mataku membasahi koran lusuh, kupeluk lutut seerat-eratnya untuk meredamkan isak tangisku. Ini adalah jalan yang terbaik untuk kulalui. Harus kuat menghadapi cobaan, sudah resiko.

Aku menatap dinding, dalam, berharap dia bisa bicara untuk mengusik kesepianku saat ini. Jemari kecil meraba-raba pelan. Kutemukan tulisan di dinding itu, nampaknya ini sengaja diukir menggunakan kuku jemari. Kemudian aku membacanya bersama suara gemercik gerimis dari luar, tulisan itu, "Ayah Bunda kapan kalian peduli dan tidak bertengkar lagi?" Ternyata aku tidak sendiri belumnya ada banyak anak-anak yang terjerat jeruji besi karena kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, sama seperti yang dialamiku saat ini.

End.
====
Ket. 
PJ => singkatan dari pajak jadian.
2 botol jamu => 2 botol minuman keras.
===
K.Mangga, 191117

0 Response to "Sebuah Tulisan"

✓ Jangan Lupa anda tinggalkan comment,karena Comment kalian Berharga Bagi saya
✓ Jika Blog ini Bermanfaat maka tidak ada salahnya untuk anda Share
✓ Manusia Jaman Sekarang Lebih Suka Membaca Informasi di Internet
✓ Jangan Fokus untuk memiliki Blog yang bagus,Fokuslah dalam membuat / Memposting konten konten / artikel artikel yang Bermanfaat