infotegal.com |
Sepotong Roti & Kelana
Oleh : Ronop Dinulur
Wanita itu sangat lembut seperti halnya gelas - gelas kaca yang jika terjatuh mudah pecah. Tapi ada juga wanita hebat nan tangguh mereka berjuang demi orang yang dicintainya.
Hampir setiap pagi Hanin mandi bersama Adnan untuk mempersingkat waktu. Ia berjuang mencari nafkah untuk semata wayangnya. Tulang rusuk itu sedang mengalami metamorfosa menjadi tulang punggung. Semenjak menyaksikan buku nikahnya dirobek-robek oleh ketua hakim.
Setiap hari Hanin lewati dengan meluapkan kegelisahan terhadap seni budaya yang dimiliki. Ia mengajar di salahsatu SMA swasta di kampung. Berharap yang dilakukan semuanya adalah ilmu yang bermanfaat, bisa berguna, kelak. Ini merupakan amal yang tidak akan terputus walau dirinya telah terkujur kaku di bawah tanah.
Dia sesosok ibu sekaligus ayah bagi Adnan -anaknya. Suami yang dicintai setulus hati, telah meninggalkan. Kini Ia berjuang seorang diri.
Sedikit trauma tentang cinta. Hati, batin, bahkan semuanya dia korbankan di atas kata cinta. Tapi apa yang Ia dapat? Hanya air mata dan kehinaan. Pikir wanita itu cinta dibalas dengan cinta, namun apa? Yang tumbuh justru ucapan dan kata - kata kasar yang selalu keluar dari harimau lelaki itu. Semakin yakin saja bahwa dia bukan imam terbaik untuk menjaganya.
Hari ini langit nampak cerah dihiasi dengan hamparan awan yang bersisik, begitu indah ketika terkena sinar mentari timur. Masya Allah, sangat mempesona lukisan-Mu.
Adnan kecil, Hanin daftarkan di Taman Kanak-kanak depan alun-alun kecamatan, kalau tidak begitu, kemana ia titipkan? Ibu? Tidak mungkin. Ibu sedang berjuang menikmati di pengujung hidup bersama lelaki pujaannya di Kota Udang, Cirebon. Hanin tidak ingin mengganggu ketentraman mereka. Terpaksa. Di usia 4 tahunan Adnan harus belajar bersama teman-teman yang lebih besar darinya. Sedangkan Hanin harus mengajar di SMA. Meninggalkan Adnan.
Semua dilakukan sendirian, hanya Adnan yang menjadi pelipur lara. "Mulailah dari nol, supaya tau rasanya bersyukur itu bagaimana." Perkataan ibu selalu membekas dalam jiwa. Berubah menjadi kekuatan dikala sedang berada di kehidupan getir seperti sekarang ini.
***
"Oke Bapak akui bahwa kamu itu protes terhadap sekolah, tapi protesmu itu jangan kaya gini. Coba bilang ke wali kelasmu, lalu ia juga akan bicara dengan waka kurikulum untuk menindak lanjuti!" Marah guru BK pada seorang murid.
Hanin menyembul di pintu. Kerudung marun yang Ia kenakan sangat serasi dengan wajah kemerah-merahan yang oriental. Senyum menguntum, kemudian merekah indah bersama timbulnya garis di ekor mata. Sambil sesekali membetulkan letak kacamata.
"Nah... Kebetulan ada Ibu Hanin," kata guru BK sambil memalingkan wajahnya ke Hanin, "Bu, ini sebelumnya sudah dikoreksi belum?" lanjutnya.
"Ada apa ini, Pak?" tanya Hanin.
"Katanya ini tugas Ibu Hanin," jawab Guru BK sambil menyodorkan gambar yang bertuliskan 'Guru malas, tenggelamkan saja' dan '120k!? Terlalu mahal untuk di-SPP-kan!!!' yang sebelumnya terpampang di mading sekolah.
"Astagfirullah, nggk, Pak. Saya hanya nyuruh anak-anak untuk menggambar sesuatu dengan slogan. Tugas itu beberapa minggu yang lalu. Pas saya nilai tidak ada tulisan semacam itu!" Nadanya sedikit gugup, "Ini tulisan kalian?" tanyanya kepada anak yang sedang diintrogasi guru BK. Anak itu hanya diam sambil menundukkan kepalanya dan sesekali memainkan kuku jemari.
Ini hanya masalah sepele, guru BK itu memaafkan, tanpa hukuman. Anak itu meninggalkan ruang guru. Hanin duduk di sofa, terdiam, membenarkan letak kacamata. Ia berbincang-bincang dengan guru BK tentang masalah tadi. Hanya kata maaf yang sesekali terlontar dari mulut ibu guru seni itu.
Tak selang lima menit, kepala sekolah menghampiri. "Bu, nanti di hari sumpah pemuda, PGRI akan mengadakan lomba tari tradisional tingkat daerah. Mereka ingin kita ikut berpartisipasi," ujarnya.
" 14... 15... 16.. Waduh sekitar dua pekan lagi ya, Pak?"
"Ya, bagaimana? Saya yakin Ibu Hanin sanggup."
Ini bukan hanya soal sanggup atau tidak. Tapi, bagaimana mengatur waktu mencari nafkah dan mengasuh sang buah hati di rumah? Mengajarkan anak-anak untuk memiliki skil tari sangat menguras waktu dan tenaga. Jika tidak pandai mengendalikan akan terombang-ambing oleh batin dan pikiran. Tapi, di sisi lain, Hanin sangat ingin mengukir prestasi di sekolah tersebut. Ini sudah menjadi kewajiban seorang pengajar, memberikan kesempatan kepada muridnya untuk berkembang. Lalu bagaimana?
"Insya Allah, sanggup, Pak," jawabnya mantap.
Dua pekan itu bukan waktu yang singkat. Ia memulainya mencari anak yang memiliki bakat di seni tari. Semua Ia seleksi. Muncul lima nama yang terpilih yaitu : Indah, Mela, Ani, Ritna, dan Sinta. Mereka diarahkan dan diberi semangat oleh ibu guru cantik itu. Hanya satu nama yang keluar, Mela.
Setiap latihan Hanin selalu membawa semata wayangnya. Adnan sangat malu-malu, dia duduk bermain gadget di pojokan, sesekali anak kecil itu melihat ibunya menari-nari di depan Mela yang terdiam khusu memperhatikan tandak.
Sangat telaten jika ibu guru itu mengajarkan suatu gerakan tari. Tangan kiri - kanannya sangat lihai meliuk-liuk memutar di setiap pergelangan, tubuhnya yang indah bak gitar spanyol mengikuti irama rancak gamelan, sangat menghayati gerakan demi gerakan. Rumit. Sering kali Mela mengeluh sebelum mencoba. Wong, gerakannya susah bagi pemula seperti halnya Mela itu. Butuh ketepatan waktu dan konsentrasi tinggi untuk jenis tari ini. Ya, tari topeng kelana. Penari harus menjadi ganas dan sangar jika sudah memakai topeng berwarna merah darah dan berkumis tebal itu. Topeng kelana ialah perwujudan dari karakter amarah manusia. Jadi tak heran jika dalangnya -penari- harus garang dengan olah tubuh yang tegas. Apalagi pengliatan si dalang terbatas oleh lubang topeng tersebut, bukan tidak mungkin jika Mela akan 'gelagapan' dan sesekali kakinya terlilit selendang merah, kemudian terjatuh. Di situlah seni dari jenis tari ini.
"Belajar tari itu sama halnya dengan belajar renang. Harus praktik, yakin, dan berani!" Hanin memotivasi Mela. Mereka sangat akrab. Seperti halnya anak dengan seorang ibu. Selalu perhatian. Memberi semangat. Kini pelipur laranya nambah satu, yaitu Mela.
Tanpa kenal kata lelah. Ibu guru berwajah oriental itu selalu mengajarkan dengan sabar. Lama-kelamaan, Mela sedikit menguasi. Latihan adalah jalan terbaik untuk menuju kesuksesan. Hanin lebih semangat, mengingat waktu yang singkat ini. Semuanya sudah Ia korbankan sampai menelantarkan Adnan, anaknya.
***
Malam semakin pekat. Hanin gelisah mengingat besok ialah waktu yang sangat istimewah, ya, Mela akan berlomba di tingkat daerah. Membuat hormon-hormon bahagia bermunculan. Sempat tidak bisa tidur, selalu memikirkannya, gelisah. Tapi, Ia harus tidur untuk menjaga tubuh agar selalu fit.
***
Azan Subuh menelisik telinga bersama suara 'kokokan' ayam jantan. Mata yang masih mengatup dipaksa, menuju ke kamar mandi, mengambil air wudlu. Ia sholat. Dzkir. Mendo'akan Mela, semoga Allah, memberikan yang terbaik untuknya. Tiba-tiba kekhusuannya terusik dengan suara anak kecil yang mengeram-eram di atas spring bed dengan sprei hijau belang hitam.
"Astagfirullah..." "Kamu demam, Nak?" Sambil memegang jidat Adnan.
Ini bagaimana? Aku harus mendampingi Mela, tapi Adnan tiba-tiba demam. Apa yang harus aku perbuat? Batinnya bergejolak.
Sinar mentari menerobos embun pagi. Menyapu bersih asap-asap tebal. Hanin masih dengan kebingungan yang sama. Rasa ini sedang dilema bagai makan buah simalakama. Harus bagaimana?
Triingg... triing... suara telepon genggam berbunyi. "Hallo. Bu, ada dimana?" tanya Mela di kejauhan sana.
"Mel, maaf ya ibu tidak bisa mendampingi kamu. Adnan tiba-tiba sakit. Sekali lagi maaf ya," jawabnya.
"Duhh... nanti saya bagaimana, Bu? Saya takut akan mengecewakan sekolah."
"Ibu percaya kamu pasti..."
Tutt... tutt... tutt... teleponnya terputus. Hanin menatap ponsel. Ia merasa bersalah. Tak sadar air mata menerobos paksa bulu lentik dan membasahi pipi. Apakah Mela marah kepadaku? Orang yang ingin sekali ia mendapatkan juara, tapi orang itu tidak bisa mendampinginya. Bagaikan anak itik yang lepas dari induknya. Tega sekali aku! Batinnya.
"Sekarang Adnan sedang butuh pelukanku," gumamnya. Diusapnya air mata. Keadaan Adnan semakin buruk. Ia bawa Adnan ke pukesmas terdekat, dengan bantuan tukang becak. Bukan suami.
Alhamdulillah, panasnya redah. Hanin selalu menemani Adnan di samping pembaringan. Di saat Hanin sedang mengalami batin yang terus - menerus mencemo'oh, Allah mengirimkan rasa kantuk. Dia tertidur sambil memeluk tangan kecil anaknya. Mungkin itu cara Tuhan untuk menenangkan hamba-Nya yang digandrungi kegelisahan. Sangat pulas tidur wanita itu.
Tok... Tok.. Tok... Suara pintu membuat Hanin terbelalak. Hanin terbangun, ia cepat-cepat mengusap wajah cantiknya dan menuju untuk membukakan pintu.
"Assalamualaikum..." Gadis berpostur tinggi memiliki bola mata bulat menyembul di pintu sambil tersenyum renyah hingga kelihatan gigi gingsulnya dan membawa sebuah tropi.
"Wa'alaikum salam... Mela? Kamu berhasil, Nak?!" tanyanya riang.
Anggukan dan kebahagiaan yang Mela suguhkan. "Alhamdulillah, Bu. Saya mendapatkan peringkat ke dua."
Disambut dengan pelukan hangat. "Alhamdulillah... Sini masuk!" Wajah sedihnya berubah menjadi kebahagiaan.
"Bu, maaf tadi pagi teleponnya mati, itu karena pulsa Mela habis." Tawa kecil yang terlontar.
"Ya, nggak papa. Kamu luar biasa!" Air matanya meleleh, kebahagiaan.
"Maaf ya, Bu. Mela cuma bisa di peringkat dua. Ibu pasti kecewa, sampai nangis seperti itu."
"Piala itu kosong. Yang membuat Ibu menangis ialah proses menuju keberhasilan kamu, Mel. Ibu bangga denganmu. Bukan kecewa." Semua yang diperjuangkan membuahkan hasil yang sangat membekas diingatan dan hati. Memang, jika melaluinya dengan sabar semuanya akan mengejutkan, Allah bersama orang yang demikian.
"Aku sangat beruntung kenal dengan Ibu. Aku bisa menyalurkan kegelisahanku dengan kompetisi ini."
"Mulailah dari nol, supaya tau nikmatnya bersyukur itu bagaimana, Mel." Kata-kata itu, ya, bukan hanya sebuah perkataan yang kosong, tapi itu penuh dengan pelajaran yang bisa semua orang tanam dan memetiknya penuh kenikmatan.
Ketika gengsi bertahta semuanya akan terasa berat dijalani, hanya bersyukur yang mampu menghadapi itu. Hidup semakin berarti. Bertujuan. Dan semakin dekat dengan suatu tempat yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, ya, Jannah. Tempat orang-orang yang tidak berdusta atas nikmat-Nya di dunia. Semua insan ingin sekali berada di istana itu. Tapi, kenyataannya banyak yang tidak bersyukur karena kegengsian. Mereka tidak berjuang dari nol, hanya memanfaatkan harta orang tua, tidak merasakan lelah, berfoya-foya, lalai akan bersyukur. Serasa berada di surga, padahal api dan cairan timah panas sudah siap menghanguskan tubuh. "Inilah Jahanam yang didustakan oleh orang-orang yang berdusta. Mereka berkeliling di sana dan di antara air yang mendidih. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (Ar-Rahman 55: 43-45)
"Iya, Bu," "Ohh... Iya. Katanya Adnan ingin roti, yah? Ini kakak bawain, spesial buat Adnan." Senyumnya menyimpul sambil memberikan sepotong roti kepada anak kecil yang terbaring dengan selang infus tertanjap di tangan kiri.
"Terimakasih." Adnan malu-malu.
Sekuat apapun seorang wanita ia sangat membutuhkan lelaki di sampingnya. Menjaganya dengan penuh kehangatan. Kebanyakan pria yang ada hanya memanfaatkan fisik semata, mereka lupa kenyamanan itu di atas segalanya. Selalu berdusta akan nikmat yang diberikan, mencari-cari wanita lain tanpa pernah memberikan kasih sayang. Tulang rusuk tetaplah tulang rusuk yang bengkok dan mudah patah, berjuang sebagaimana pun seperti halnya lelaki, tetap air mata yang selalu bicara.
====
Indramayu, 111117
Ronop Dinulur
0 Response to "Sepotong Roti & Kelana"
✓ Jangan Lupa anda tinggalkan comment,karena Comment kalian Berharga Bagi saya
✓ Jika Blog ini Bermanfaat maka tidak ada salahnya untuk anda Share
✓ Manusia Jaman Sekarang Lebih Suka Membaca Informasi di Internet
✓ Jangan Fokus untuk memiliki Blog yang bagus,Fokuslah dalam membuat / Memposting konten konten / artikel artikel yang Bermanfaat